
(sebuah refleksi hidup umat----fiksi)
Kumprun namaku, umurku 67 tahun, miskin derajatku, “susah” sarapanku, “perjuangan” makan siangku, "penderitaan" alas tidurku (kenapa gak ada makan malam, 2 kali sehari berat bos, apalagi 3 kali...mustahil).
kusisiri sisi trotoar di suatu jalan yang bau pinggiran kota Jakarta Utara, kuseret gerobak sampah dinasku(yah aku memang petugas sampah perumahan depan kampungku ini), gerobak masih terasa ringan walaupun telah terpenuhi sampah domestik warga urban yang terhormat, karena dikantongku terselip gaji mingguanku, Alhamdulillah Ya Allah atas rizki-Mu, terlintas dibenakku nasi bungkus diwarung ujung gang nasi ma sayur kayak biasanya plus tempe karena hari ini hari gajian, bolehlah kumanjakan diri ini sebulan sekali, iya kan kawan.
Telah 29 tahun ku ber-profesi sebagai dewa penolong bagi warga perumahan depan kampungku, tidak Cuma membuangkan sampah mereka, ku juga yang mereka cari saat ada pekerjaan yang sekiranya akan mengotori tangan2 kantoran mereka, lumayan upahnya untuk beli batu kerikil buat mengurug jalan kampungku yang selalu banjir saat ujan datang, alhamdulilah dah panjang jalan yang mulai manusiawi untuk dilalui.
Suatu hari dibawah jembatan saluran air tempat biasa ku berteduh sambil menikmati sebatang rokok yang setiap hari menggerogoti kesehatan badanku, fffuuuuuuhhhhhh......!!! ku hempaskan asap rokok yang keluar dari mulutku yang hitam berurat zat nikotin. Aku teringat peristiwa 1 tahun yang lalu saat ku akan mengulang hari lahirku...iya bener biar ku orang rendahan(kata orang) aku selalu mengingat hari aku dilahirkan di dunia ini, karena detik itu adalah awal aku mencari uang saku untuk modalku ke surga menemani Kekasih Allah. Kembali ke kisahku satu tahun lalu........
Hari itu tepat satu hari sebelum hari ultahku yang jatuh pada 5 maret, iya hari kamis 4 maret 2009, kududuk sendiri persis ditempat ini, bawah jembatan butut ini untuk merenung, gajiku belum keluar minggu lalu, katanya sih belum ada dana, yah apa boleh buat, yang penting kewajibanku telah kujalankan, goban dikantong hasil merapikan taman di rumah biru itu bukan hakku, itu hak pemakai jalan dikampungku sesuai janjiku pada Tuhanku, 5 tahun silam saat istriku meninggal karena sakit paru, sebagai ganti agar belahan hatiku dapat pergi ke surga.
Dalam renunganku tuk alihkan rasa lapar sedari pagi tadi, aku ditepok seorang anak laki-laki kucel, sekitar belasan tahun tebakku atas umurnya. Pak!, sapanya. Iya nak ada yang kumprun bisa bantu(semua orang disini tak ada yang memanggilku bapak, mas atau panggilan lain, cukup kumprun aja), asal jangan minta makan ya, aku juga belum makan, hehehe, candaku padanya. Begini pak, anak itu mulai berbicara, saya pergi dari rumah sudah 3 tahun, hari ini saya pengen pulang, saya baru tersadar bahwa keluarga adalah harta yang selalu dirindukan, begitupun saya merindukan ayah ibuku(basah matanya saat mengucap kata rindu). Hem...maksudmu, kamu mau minta tolong kumprun mengantarmu pulang, kemana emang kampungmu nak? malang pak, sahutnya. Jauh juga ya pikirku. Maaf nak, aku mau nanya ya, kenapa kamu pilih bapak untuk mengantarmu, kenapa kau bukan ke komplek depan yang banyak orang kaya itu. Pak, kira2 disela kesibukan mereka, maukah mereka mengantarku pulang, jawabnya. Hehehe betul juga sahutku. Anak itu lalu duduk disebelahku, sambil mengambil puntung rokok ditanganku dan disedotnya, wow ini pasti salah satu hal yang dia pelajari dijalan. Aku terdiam mengingat permintaannya tadi, aku berpikir dalam, Ya Allah berikan petunjukmu, inikah salah satu ujian untuk hamba-Mu ini.....sekelebat hatiku menjawab. Kuputuskan kuterima tawaran anak itu, tapi kubilang padanya kutakdapat menjanjikan perjalanan yang indah ke kampungnya, hanya naek kereta ekonomi, itupun bayar diatas(maaf pak pemerintah, melanggar aturan sih, tapi untuk orang sepertiku cukup membantu). Anak yang bernama samid(begitu panggilannya, karena nama aslinya dimas, katanya sih itu khas untuk orang malang asli, kalo nama panggilan dibalik tulisannya...ok deh asal bukan Schwarzenegger, susah tuh) menganggukan kepala menyetujui sayaratku, aku bilang hari minggu kesini ya, diapun mengangguk lagi, kemudian dia pergi ntah kemana.
Aku merenung lagi, semoga gajiku keluar seperti yang dijanjikan, lumayan buat ongkos pulang pergi, trus untuk makan minggu depan, hehehe tak pernah aku berpikir jauh seperti itu, buktinya aku masih hidup diusia tuaku. Tidak terasa minggu telah tiba, amplok gaji rapi tersimpan dikantong celanaku, jaket blujin hitam pinjaman wardi pemilik warteg kupakai, sosokku lebih terlihat gagah disamping gerobak sampahku yang akan dijalankan udin hansip selama aku pergi. Ehm...dah siang nih, kereta matarmaja(malang-blitar-madiun-jakarta) kan berangkat jam 2-an (kalo gak molor sih, hehehe), plok...sebuah tepukan dibahuku, kumprun aku siap untuk pulang, suara samid menegurku
Singkat cerita kita telah berada diatas kereta yang mulai melaju lirih menuju kampung si samid, konon cerita kereta ini juga yang mengiringi keluarga sby saat jaman dulu ingin sungkem ke mertuanya di Blitar, wow keren, kereta ini tlah mengangkut sosok pribadi yang kini memimpin negeri ini. 17 jam 41 menit waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kota malang berarti harusnya jam 07.41 kutelah tiba di malang, namun kata bapak sebelah, jam udah menunjukan pukul 12 siang, hehehe gpp terlambat dikit, keluar dari stasiun kota, samid menyeretku, ayo prun aku dah gak sabar ketemu orangtuaku, setengah terseret kaki tuaku ditariknya, iya-iya jawabku. Kita jalan aja yah, ongkosku tinggal buat pulang aja neh, iya gpp jawabnya. Kususuri jalan mengikuti samid yang jalan didepan, rupanya dia belum lupa jalan kerumahnya, sesampai diperampatan yang ada dekat pasar dia menunjuk ke arah jalan yang terlihat ada patung besar dipinggir lapangan, kita lewat rampal yuk, trus kearah arjosari. Disebutnya nama2 daerah yang kutak paham sama sekali, okelah jawabku. Setelah berjalan duapuluh menit, kita sampai dipinggir jalan, diseberang terlihat gerbang dengan tulisan KOTA ARAYA bagus banget perumahan ini, dia pasti tinggal dibelakang perumahan ini, di Jakarta tempat tinggalku juga dibelakang perumahan besar seperti ini, lima menit memasuki komplek ini dia berdiri disebuah rumah besar, wow ngapain lu mid, mau minta makan, ato bapak-ibumu kerja disini, dia menggeleng pelan, yuk masuk rumahku pak, BLLAAARR.... kagetku dibuatnya, rumahku katanya, dasar anak sableng. Dipencetnya bel ditembok pagar, ku berdiri dibelakang sosok dimas, pintu pagar dibuka seorang satpam dengan kumis melintang, mati aku, gawat nih jauh dari kampung buat dipukulin satpam, aku makin mengecilan tubuhku dibelakang samid yang kurus itu.
Mas Dimas? Suara satpam itu berat, tiba-tiba satpam itu berteriak.....BUUUUUU!!!!!! MAS DIMAS PULAAAAANGGGG, teriak satpam itu keras-keras, sambil menunggu orang rumah keluar satpam itu melirik-lirik kearahku, ini kali penculiknya, gitu kali pikir satpam itu terhadapku. Seorang ibu setengah tua berlari dari dalam, IBUUUUU....dimas pun berteriak, lha bukan mimpi ini melihat seorang ibu kaya memeluk seorang anak jalanan dari Jakarta, baru aku tersadar rupanya samid anak orang kaya sebelum dia minggat dari rumah.
Didalam rumah kami disambut dengan minuman, makanan yang jumlahnya lebih banyak dari menu warteg langgananku, waduh nikmatnya, terima kasih ya pak telah mengantarkan anak saya pulang ke rumah, ooo rupanya samid menghilang tadi, rupanya asyik bercerita dengan ibunya, sama2 ibu, hanya itu yang bisa saya bantu, omong2 bapaknya mana? Tanyaku, karena dari tadi kutak melihat sosok gagah seperti di pigura foto besar yang menghiasi ruang tamu megah itu. Ibu itu menunduk dan bercerita kalo bapak samid meninggal dua minggu yang lalu, semenjak terkena stroke saat samid hilang dari rumah, Innalillahi wa innailaihirojjiun gumanku, rupanya samid tidak ikut ibunya kembali kesini karena lagi sedih mendengar berita itu.
Telah 2 hari aku dirumah itu, makan minum gratis, semua kebutuhanku dipenuhi, iya aku sendiri, karena samid kembali sekolah(rupanya ibunya telah secara bijaksana telah meredakan kesedihan Samid atas meninggalnya sang bapak). Pintu kamarku diketok pelan dari luar, iya...sahut ku sambil berjalan kearah pintu, ibu ratih(nama itu kuketahui saat dia memperkenalkan diri saat awal kedatanganku) mengajakku ngobrol diruang perpustakaan keluarga, sebuah ruang yang luas dipenuhi rak buku dari kayu jati ukiran dengan meja lebar dan kursi ditengahnya dan sofa2 kecil disudut2 ruangan. Pak Kumprun, tadi malam dimas bilang sama saya kalo bapak mau pulang? Benarkah? Oooo rupanya samid telah membicarakan obrolan semalam di saung kebun belakang. Iya bu, gak enak merepotin lama2, bapak punya keluarga di Jakarta? istri saya telah meninggal bu, dan kami belum mempunyai anak, jawabku. Pak kumprun, maukah bapak kerja sama saya disini, jadi bapak tidak usah kawatir merepotin saya, Subhannalah beberapa hari yang lalu aku adalah tukang sampah, eh atas kuasa-NYA hari ini telah hidup enak dan akan ditawarin kerja pula, Alhamdulillah Ya Robbi. Kerja apa bu, saya cuma orang kecil yang pendidikannya hanya tamatan SD. Ibu Ratih kemudian menjelaskan bahwa aku bekerja sebagai salah satu supervisor penagihan, untuk memandori kelompok kecil penagihan, setelah kupikir Insyaallah aku bisa mengerjakan tugas itu, aku menerima tawaran ibu Ratih.
Pagi-pagi kutelah rapi dengan seragam safari hitam, pemberian bu Ratih, gagah juga tatapku pada sebuah cermin besar dipojok ruangan kamarku. Kulangkahkan kakiku keluar, bu Ratih bertanya padaku saat bertemu diruang tengah, bapak bisa beladirikan? Iya bu untuk kesehatan dan jaga diri saja, kenapa bu. Ah tidak, hanya bertanya saja, jawab bu Ratih. Bu Ratih kembali berkata padaku, pak, bapak sarapan dulu, trus ikut supir ke kantor, nanti Wati staf disana akan menjelaskan pekerjaan bapak, dan memperkenalkan bapak ke anggota tim bapak. Aku mengaguk pelan seolah mendengarkan sungguh2, padahal aku masih membayangkan beberapa hari yang lalu aku masih menyeret-menyeret gerobakku untuk biaya makanku nasi dengan sayur dan ditambah tempe saat hari gajian sebagai bentuk memanjakan diriku.
Kulangkahkan turun kakiku dari kijang inova hitam yang katanya kendaraan dinasku ini. Kutatap gedung besar didepanku, inikah masa depanmu kumprun, jadi orang sukses di daerah orang bukan ibukota seperti orang lain. Singkat kata, setelah diperkenalkan ke anggota timku yang berjumlah 15 orang, aku dijelaskan bahwa kerjaanku adalah untuk mengingatkan debitur dari klien kami agar membayar angsuran hutangnya, atau melunasi hutangnya, yang katanya adalah kuncinya komunikasi agar berhasil didunia pekerjaan ini, hem...semakin berkerut jidat tuaku mendengarkan penjelasan ibu wati yang subur dan bawel ini hehehe maaf bu.
Jam 15.00(ohya kini aku dah pake jam loh, kerenkan) berbunyi telpon di mejaku, kuangkat bu wati memanggilku, diruangan aku diberikan sebuah amplop besar yang isinya data objek penagihanku hari ini, jika berhasil masing2 anggota grupku mendapat bagian sesuai kontrak masing2 dari 5% bagian yang berhasil kami tagih. Aku harus pergi didampingi 3 orang dari anggota timku kata bu Wati, anggotaku yang lain jalan dengan perintah yang lain lagi, cuman nanti semua harus melapor padaku, dan aku melaporkan kegiatan hari ini pada bu Wati.
Setengah jam perjalanan ke kota lawang, kami memasuki sebuah gang dan berhenti disebuah rumah besar tidak terawat. Kami semua telah turun, aku, yadi, dika dan samot orang ambon yang nyetirin mobilku. Yadi membuka gerbang, dan bilang padaku, bapak tunggu dimobil ajah yah, nanti kalo bapak diperlukan baru kami panggil bapak dan mengetuk pintu rumah itu, keluarlah seorang ibu membukakan pintu, subhanallah aku terkejut, yadi setengah menyeret ibu itu sambil menyodorkan kemuka ibu itu sebuah surat, wah ada apa ini, sepintas dari mobil kumelihat ibu itu mulai menangis, mereka membawa ibu itu kedalam dengan kasar, setelah 10 menit aku menunggu dengan banyak pikiran berkecamuk di kepalaku, mereka kembali ke mobil, samot berkata padaku, beres bos, sukses hari ini, kita kembali ke kantor. Sesampai diruang bu Wati, aku menyampaikan amplop yang diberikan oleh yadi ke aku untuk disampaikan bu Wati, ibu Wati kemudian menerima amplop itu dan membuka laci, menyimpan amplop tersebut dan mengambil tiga amplop lain diberikan padaku, ini untuk dibagiakan ke anggota bapak, succes fee katanya.
Di rumah sehabis sholat Isya’ aku terus memikirkan kejadian hari ini, empat grup kecil yang tadi jalan semua menyerahkan amplop kepadaku untuk kuteruskan ke bu Wati , apa semuanya memperoleh dengan cara yang dilakukan Yadi tadi. Ya Allah dengan hal itukah kenikmatan dunia ini dibangun, Ibu Ratih yang Ramah itu memeperoleh hartanya dengan cara begini, seribu tanya berkecamuk didepanku, dan aku telah ikut menikmatinya, bahkan hari ini ikut terlibat didalamnya. Nikmat apa ini ya Allah, hidup bahagiaku seketika rusak oleh kisah hari ini. Inikah Nikmat yang Kau berikan padaku Ya Allah. Ya Allah ku telah berbahagia diatas penderitaan orang lain, materi haram telah kusuapkan kepada diriku. Oooh bagaimana pahala yang selama ini kucari, bagaimana uang saku yang selama ini dengan susah payah kukumpulkan untuk modalku ke Surga, bagaimana janjiku berbuat baik untuk orang lain demi janjiku dengan Allah agar istriku bisa ke surga. Kenapa..oh kenapa Ya Allah...kenapa tidak kau peringatkan aku dari dulu, sekarang aku harus bagaimana Ya Allah. Apakah aku harus kabur dari rumah ini, atau haruskah kusadarkan bu Ratih dari hal salah ini. Semua kini menjadi hal yang sangat berat bagiku, bagaimana pula dengan Samid, kalo aku bertentangan dengan Orangtuanya. Ya Allah nikmat-Mu seketika langsung menjadi hal paling membingungkan dalam hidupku. Sedih saat ditinggal istriku tersayang rasanya tak sehebat yang kurasakan saat ini...ooo Ya Allah apa yang harus kulakukan atas Nikmatmu ini, apa ya Allah... berikan petunjuk-Mu.............Haruskah ku-Gugat Nikmat-Mu
Itulah ceritaku, cerita selanjutnya isilah dengan jawabanmu masing2, yang jelas kini aku telah kembali ke Jakarta sebagai tukang sampah lagi, mengumpukan uang saku untuk modalku ke Surga saat ajal menjemputku.........................................*
12 Februari 2010