Senin, 06 Agustus 2012

Cita Citaku

Mobil mentereng melaju keluar halaman rumahku yang megah di samping gang kecil kumuh, dulu bapakku tinggal di rumah orangtuanya yang kecil dan pengap dalam gang itu, ruangannya gelap hanya berpenerang lilin, jangankan pasang listrik, untuk sekolah bapakku, kakek harus banting tulang mengantar susu ke rumah2 orang kaya diluar gang itu. Kenapa gang kumuh itu ada? Tetap saja harus ada orang yang mengerjakan perkejaan kotor orang2 kaya itu, membuang sampah, merawat kebun, dan lain sebagainya. Bagaimana orangtuaku bisa merubah nasibnya sangat drastis dan menjadi bagian komunitas diluar gang? Rajin belajar, ya.. Rajin belajar, tapi itu hanya batu loncatan. What.. Betul, karena di negeri kumprun ini tuk mendapat kerja harus memiliki ijazah dengan nilai baik yang didapat dari rajin belajar. Tapi ayahku kaya bukan karena itu, dia kaya karena dia hina. Ha!.. Pasti semua gak percaya, bagaimana ayahku menjadi kaya karena hina. Dulu di kantornya ayahku menjilat atasannya, menyikut saingannya, dan suka mencuri uang kantornya, hahahaha benar2 hina. Tapi itu adalah negeriku yang juga negeri ayahku dan kamu2. Hina sudah menjadi kebutuhan bagi orang yang ingin menjadi kaya, lebih hina kita lebih kaya, semakin kita terhina jayalah kita jadi penguasa. Menghamba harta dengan diri yang terhina. Orang berlomba-lomba mengikuti pendidikan dari sekolah terbaik, kerja keras agar jadi yang terbaik, agar nanti dapat bekerja pada posisi yang terbaik, terus setelah kerja aku akan berbuat terbaik untuk perusahaanku... Enak aja! Kerja kerasku harus terbayar dengan uang, uang berlimpah... kaya raya! Kerja keras lagi? Hahahaha aku ngga gila! Saatnya aku melakukan apa yang dilakukan bapakku, teman bapakku, bahkan semua orang di negaraku. Berbuat Hina, menjadi Hina, dan menebarkan ajaran Hina. Mungkin dulu mereka harus bertopeng karena malu, tapi kini! Buat apa toh semua melakukannya. Aku kaya, keluarga bahagia, negaraku makmur sentosa. Hahahaha! Udah ah, hari udah siang, aku harus sekolah giat agar aku bisa bekerja, gak sabar aku tuk menjadi hina seperti bapakku.

Potret Pendidikan Urban di Kampungku

Serombongan mobil antri di sebuah gerbang sekolah favorit di kota Melintang, jalananpun macet hanya menunggu rombongan mobil itu menurunkan anak majikannya untuk bersekolah. Sekolah itu memang sekolah negeri favorit di kota Melintang, walaupun letaknya di tengah sebuah perumnas, namun namanya telah kemana-mana. Wow luar biasa para penghuni perumnas itu, mobilnya bagus cenderung mewah. Ternyata bukan mobil-mobil itu milik penduduk perumahan lain yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut, iyalah siapa yang gak mau anakanya mendapatkan pendidikan nomor 1. Lalu jika sekolah tersebut diisih oleh penduduk sekolah lain, kemanakah anak-anak perumnas itu bersekolah. Rupanya, setelah sekolah itu meroket prestasinya menjadi sekolah unggulan, biaya pendidikannya menjadi mahal. Warga perumnas tersebut yang rata-rata pegawai menengah kebawah hanya tercengang dengan biaya pendaftaran yang mencapai 5 juta keatas, untuk warga perumnas tersebut yang mampu tetap menyekolahkan anaknya di sekolah itu, namun sebagian besar hanya mengelus dada dan menyekolahkan anaknya di kampung orang dengan kualitas sekolah yang ada jauh dibawah sekolah di perumnasnya. Benarkah keberhasilan sistem mendidik di suatu sekolah berbanding lurus dengan mahalnya biaya pendidikannya, yang jelas hingga saat ini di seluruh pelosok Indonesia tidak ada sekolah favorit yang murah. Trus kenapa ada sekolah bagus dan tidak? Apakah kurikulumnya berbeda? Atau kualitas gurunya berbeda? Jika iya, kenapa kurikulum dan kualitas gurunya berbeda? Suatu sekolah dibangun pada suatu wilayah, seyogyanya dia mempunyai tujuan utama untuk mendidik orang-orang diwilayah tersebut. Saya yakin ki hajar atau siapapun tokoh pendidikan tidak akan menyangkalnya. Haruskah untuk mendapatkan pendidikan, seorang anak harus menempuh perjalanan jauh hanya karena tidak mampu membayar uang pendaftaran sekolah di kampungnya. Potrait ini saya yakin masih banyak ditemukan di daerah lain, sungguh menyedihkan. Disaat negara-negara lain berlomba mencerdaskan anak-anak bangsanya dengan pendidikan murah, negara ini justru dengan bangganya berazas ingin pendidikan terbaik tidaklah murah! Atau ingin pandai ikutlah bimbingan diluar sekolah. Pantas India, Cina, dll meroket dengan sumber daya manusianya, sedang kita terseok-seok dengan ulah sumber daya manusia yang berlabel alumnus sekolah mahal. Setiap masalah ini didiskusikan selalu mendapat kesimpulan yang sama, bahwa pengaturan pendidikan di Negeri kita sudah salah dari dulu. Adakah yang akan merubahnya? Tidak, karena melanjutkan lebih mudah dan aman... Damn! Semoga tulisan ini membuka mata pengambil kebijakan kota Melintang yang kusayangi, sudah saatnya kota kita terrkenal karena manusianya bukan alam, olahraga atau apapun lainnya. Karena mencetak SDM berkualitas otomatis mengupgrade kualitas kota itu.